Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Labels

Senin, 17 Oktober 2011

Senyuman Di Balik Senja


Semakin malas saja aku mengikuti mata kuliah ini. Mata kuliah ketiga untuk hari ini. mungkin tak hanya aku saja yang merasa malas dan bosan. Teman-teman sekelas pun terlihat sama. Kebanyakan dari mereka sudah menyangga kepalanya dengan tangan. Bahkan ada yang berani memamerkan posisi tidurnya yang pewe. Benar-benar suasana yang tidak kondusif untuk kegiatan perkuliahan. Apalagi ku lihat matahari sudah berwarna jingga. Tinggal beberapa derajat di atas horizon barat.

Sementara kami berusaha mempertahankan kelopak mata agar tidak terpejam, beliau masih asyik membaca mantera tidur dari kitab tebal bertuliskan 'Kompilasi Undang-Undang Perpajakan'. Entah mantera pasal berapa yang beliau baca tapi telah manjur membuat deretan belakang menjatuhkan kepalanya di atas buku mereka. Termasuk juga disana adalah aku. Sementara barisan depan rupanya telah kebal mantera. Mereka tetap sigap mendengarkan mulut komat-kamit Pak Dosen membaca mantera PPh. Hebat sekali mereka yang bisa bertahan, mungkin mereka mempunyai mantera tandingan yang lebih kuat dari mantera beliau.


Kelopak mataku kini sedikit mulai terbuka. Bukannya aku membaca mantera yang lebih hebat. Dan bukan karena aku mengganjalkan batang korek api di kedua kelopak mataku. Sebuah pemandangan indah di sebelah kananku lah yang dapat menandingi mantera tidur dosenku. Mataku seketika terbelalak melihat dengan tajam. Kelas kami yang berada di lantai tiga membuat pemandangan ini terlihat sempurna. Apalagi posisi dudukku yang di pojok kanan belakang. Aku dapat melihat dengan jelas apa yang ada di balik kaca ruang kelas yang tanpa tirai ini.

Sebuah cakram bulat sempurna mengambang tepat di sebelah kananku, itu adalah arah barat. Cakram itu berwarna jingga menyala tapi cahayanya tak begitu menyilaukan mata. Di sekitarnya, awan-awan lembut mengiringi, menjadikannya seperti buah jeruk segar di antara harum manis warna putih yang siap ku lahap habis. Cahaya dari cakram itu memancar lurus ke arah gedung ini dan sejajar dengan posisiku saat ini. Cahaya itu ku lihat seperti sebuah jalur khayalan menuju gumpalan harum manis putih yang jauh di sana. Aku membayangkan bisa meraih jalur cahaya tersebut, melangkahkan kaki ke arahnya, kemudian berlari untuk menuju gumpalan harum manis, dan mengambil jeruk besar berwarna jingga menyala itu. Ingin aku keluar dari kelas ini, meraih semua yang saat ini ku lihat. Tapi aku masih terikat oleh segel gaib yang dipasang oleh Pak Dosen. Terpaksa aku menunggu beliau membuka segel itu dengan suka rela.

Beberapa menit berlalu dan akhirnya Pak Dosen mengakhiri kuliah kali ini dan membuka segel gaibnya. Semua yang tadinya terhipnotis kini terbangun dari alam bawah sadarnya. menghirup udara segar setelah dua setengah jam bersama mantera tidurnya. Semua menghambur keluar dengan semangat seakan energi terisi full lagi. Aku belum mau beranjak dari tempat dudukku. Aku masih ingin melihat pemandangan terbaik sepanjang aku hidup sampai hari ini. Tapi sayang saat aku melihat ke arah aku melihat panorama tadi, semuanya telah berbeda. Sang jeruk segar dan harum manis putih sudah hampir tenggelam, kini hanya terlihat ujung atasnya saja. Aku agak kecewa dengan yang sekarang ku lihat. Akhirnya aku melangkahkan kaki ke luar ruangan. Tapi sebelum kakiku sampai ke ambang pintu, aku teringat sesuatu.

Tepat tiga puluh hari yang lalu sang bulan tertutup bayangan bumi. Artinya malam ini adalah bulan purnama. Aku segera masuk ke ruang kelasku. Aku menghambur ke sebelah kiri, tepat di sebelah kaca ruang kelas. Aku mencari-cari objek bulat dengan motif kelinci atau wayang yang seharusnya sudah di atas horizon. Kini langit sudah mulai gelap. Akhirnya ku lihat dari baik gedung bertingkat, sang purnama mulai memunculkan rona wajahnya. Dari jendela kaca aku berdiri, sejajar dengannya. Purnama, merah, menyala. Ku lihat dengan seksama. Mataku kini terpaku, terhipnotis oleh rona wajah merahnya. Teringat dalam pikiranku seseorang sedang berada jauh di sana. Ku pandangi sang purnama lebih lama. Ku lihat senyum dari wajah manis seseorang jauh disana, yang tergambar di balik pendaran sinar senja, persis di sebelah bulan. Aku membalas dengan senyuman yang penuh rasa rindu yang aku tujukan kepadanya. Aku menyeka mataku sebelum senyum ini berubah menjadi air mata. Air mata rindu. Aku berharap dia yang disana juga melihat langit yang sama. Melihat sang purnama, melihat senyum rinduku dari belahan bumi yang berbeda.


J J J


Epilog

Dengan rasa puas aku keluar dari ruang kelas. Lelahnya kuliah sembilan SKS rasanya telah terbayarkan oleh pemandangan tadi. Apalagi sempat juga ku sampaikan rindu untuk dia yang disana lewat senyuman di antara terbitnya sang purnama. Aku melangkah menuruni tangga menuju lantai dasar, masih dengan senyum bahagia. Sepi rasanya, sampai langkah kakiku menggema sampai ke sudut gedung. Ku lihat langit juga semakin gelap. Dan ku lihat jam tanganku menunjukkan pukul 18:23. Hatiku mulai merasa tak enak. Aku berlari ke pintu utama gedung J, gedung tempat aku tadi kuliah. Gelap. Sendiri. Ku coba mendorong pintu itu. Tak bergerak sedikitpun. Ku dorong dengan sekuat tenaga. Tetap tak bisa.

"Celaka. Aku terkunci di dalam gedung J."

"Tidaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak........................"



6 comments:

Eko Bephe mengatakan...

perumpamaan nya keren...

tapi ndak bener kekunci nang gedung???? wado, kasian... heheheh

Mabruri mengatakan...

Kira2 nyata ga ya...

eh, akhirnya Ulin... menulis sesuatu ttg dia juga,,

Ahmad Ulin Niam mengatakan...

Nggak semua yang lo baca itu bener. haha.
Yang bagian akhir sih fiksi. wkwkwk

Dia siapa maksudnya dul?

Wahyu Whi mengatakan...

bagus lin.. :)

Ahmad Ulin Niam mengatakan...

Eh ada whii. makasih sudah mampir..

Wahyu Whi mengatakan...

sama-sama lin...
kok pada pinter nulis, rahasianya apa sih, kasih tau donk :D

Posting Komentar