Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Labels

Sabtu, 15 Oktober 2011

Malaikatku, Ajak Aku Menari di Surga

“Lihatlah ke arah sana, Lis!” Dia berteriak sambil menunjuk ke arah langit bagian utara dekat zenith. Aku masih tak mau berpaling dari memandang wajahnya yang teduh dan manis ditimpa cahaya temaram lampu taman. Rasanya tak mau aku memalingkan pandanganku kalau tak ada yang lebih indah dari wajahnya.
“Cepatlah, ini peristiwa langka.” Teriakan keduanya membuatku merubah arah pandangku ke arah langit yang dia tunjuk. Dan seketika aku tak bisa berkata-kata. Ku lihat sebuah bintang yang sangat terang dengan ekor yang bercahaya melintas di atas kami berdua yang sedang berbaring santai di rumput taman. Reihan memang sering mengajakku setiap kami ada waktu, sekedar membuat obrolan ringan, bercengkrama di tengah hamparan bunga, dan yang paling dia sukai adalah mengajakku berbaring di atas rumput, melihat langit malam yang hitam walau terkadang tanpa bintang. Aku suka setiap apa yang dia lakukan bersamaku.
“Itu tadi adalah komet, Lis. Bersyukur sekali kita bisa melihatnya langsung. Ini adalah peristiwa langka. Peluang melihatnya puluhan tahun sekali lho. Dan kata orang-orang dulu, datangnya komet itu pertanda akan ada musibah.” Jelas Reihan panjang lebar.

“Apa kamu percaya tentang mitos itu?” tanyaku agak penasaran.
“Tentu saja tidak. Itu kan cuma tahayul. Zaman teknologi dan ilmu pengetahuan ini masih saja percaya dengan hal-hal seperti itu.” Ya, kuakui Reihan memang tak mudah mempercayai hal-hal mitos seperti itu. Apalagi masalah benda langit seperti bintang, komet, dan sebagainya. Dia bisa ku bilang ahli dalam ilmu itu. Jurusan astronomi yang sedang dipelajarinya di bangku kuliah membuatnya tak mudah percaya dengan mitos apalagi masalah benda langit.
Tapi berbeda dengan diriku. Aku hanya seorang gadis desa lulusan Sekolah Dasar yang pengetahuannya hanya sebatas debu di atas padang pasir. Aku sangat percaya mitos-mitos yang sering dikatakan oleh orang-orang dahulu. Termasuk tentang mitos komet yang dibicarakan oleh Reihan. Wajahku berubah pucat semenjak kami melihat komet itu. Semakin pucat karena aku melihat langsung dengan mata telanjang.
Melihat wajahku yang pucat setelah melihat bintang berekor, Reihan mengelus rambutku yang tergerai di atas rumput. Dengan nada yakin dan penjelasan ilmiahnya, dia mencoba meyakinkanku bahwa tak akan terjadi apa-apa setelah kami melihat komet itu. Dia lalu berdiri sambil tersenyum, kemudian menarik tanganku supaya aku terbangun.
“Jangan terlalu dipikirkan, Lis,” serunya pelan penuh pengertian, “ Ayo kita ke sana, bunga-bunga di sana sudah mulai bermekaran,” ajaknya penuh semangat. Dia selalu bisa mengalihkan perhatianku dan selalu tahu apa yang aku suka dan aku inginkan. Dia berlari. Tanganku ditarik olehnya. Kami berlari di antara semak perdu, menerjang dinginnya angin malam. Diriku serasa melayang di atas awan. Dibawa terbang oleh malaikat yang mengajakku ke tempat terindah di surga.
Tak terasa gerimis turun mengguyur langkah kami. Reihan semakin mendekatkan dirinya kepadaku. Dilepaskan jaketnya untuk dipayungkan di atas kepalaku. Kami berteduh di bawah pohon. Sejenak melepas lelah, menunggu sang langit agar tak menangis lagi. Reihan memakaikan jaketnya untukku, tangannya mendekapku erat-erat.
“Terima kasih malaikatku, bersamamu aku selalu bahagia,” bisikku di dalam hati sambil tersenyum ke arahnya. Dia membalas dengan senyum manis dari bibirnya.
Saat hujan mulai reda, kami melanjutkan langkah, kini tanpa berlari. Kami berjalan memecah genangan air hujan. Membawa kebahagiaan. Dedaunan kering jatuh dari tanngkainya. Kupu-kupu banyak yang beterbangan, terusik oleh guyuran hujan yang baru saja mereda. Mereka terbang ke arah yang sama dengan langkah kami. Aku sempat heran mengapa banyak kupu-kupu yang beterbangan malam-malam begini. Tapi itu semua tak penting karena mereka menambah keindahan malam ini. Menemani aku dan malaikatku menikmati langkah ini.
Bunga-bunga itu memang sudah bermekaran. Kami melintas diantara ribuan tangkai penyokong mahkota aneka warna. Ingin ku menari di antara bunga-bunga indah ini. Dengan agak canggung ku tarik kedua tangan Reihan, kuajak dia menari bersamaku. Kupegang kedua tangannya. Ku ajak dia untuk berputar, aku menganalogikan ini seperti bintang ganda yang pernah dia ceritakan padaku. Kami semakin erat, terikat oleh gaya grafitasi kuat yang susah untuk dipisahkan.

Tarian kami ditemani oleh kupu-kupu yang hinggap di pucuk mahkota bunga. Kubayangkan mereka memetik beberapa mahkota kemudian menaburkannya ke atas kami yang sedang menari mesra. Mereka terbang mengejar kemanapun kami melangkah, menaburkan hujan mahkota bunga. Seolah menyanyikan sebuah lagu yang pernah kami nyanyikan bersama.
Reihan merenggangkan genggaman tangannya. Menghentikan tarian kami. Meruntuhkan semua khayalanku. Malaikatku tetap tersenyum manis di depan mataku. Mendekatkan tubuhnya ke arahku. Kulihat bibirnya bergetar ingin mengeluarkan kata-kata.
“Malam ini indah ya? Tapi sayang, besok pagi aku harus pergi. Aku harus kembali ke perantauan, mencari ilmu untuk bekal masa depan.” Kata-kata itu memabuatku tak bergerak, darahku seakan berhenti mengalir, langit dan bintang seolah runtuh ke bumi. Belum juga aku mengkhayal tentang awan-awan yang menerbangkan kita ke surga, belum juga aku mengkhayal kita menikmati segarnya mata air surga. Begitu cepat kau menghancurkan semua khayalanku.
“Jaga dirimu baik-baik ya. Suatu saat nanti kita akan ke sini lagi.”
Air mataku seketika mengalir di kedua pipi. Jatuh ke atas sebuah bunga di taman surga khayalan ini. Bunga melati putih. Bunga yang menjadi saksi perpisahan kami malam ini.


J J J

Aku kembali ke taman surga khayalan. Dua hari setelah aku dan malaikatku menari bersama. Aku berbaring di atas rumput, memandang setiap sudut langit malam ini tapi tak kutemui satu pun bintang. Ku pejamkan mataku agar ku bisa melihat wajahnya di langit yang gelap. Ku lihat dengan sekejap wajahnya sedang tersenyum namun menghilang dengan cepat. Aku tak bisa menahan air mataku untuk menetes.
Aku terbangun dan mengusap air mataku. Kulihat beberapa kupu-kupu terbang di sekitarku. Sepertinya mereka mengarah ke suatu tempat yang ku kenal. Ya, taman bunga yang bermekaran. Aku mengikuti kupu-kupu itu. Aku teringat dua hari lalu aku melakukan hal ini bersama malaikatku yang selalu menjagaku. Tapi kali ini aku berjalan sendirian, menari bersama kupu-kupu ini yang mungkin datang dari surga.
Bunga-bunga itu masih bermekaran. Masih sama seperti saat kami menari di atas mereka. Masih teringat jelas aroma bunga-bunga ini di indera penciumanku. Aroma kemesraan bersama sang pujaan hati. Ku hirup semua bunga, tak ku temukan aroma kemesraan seperti waktu itu. Yang ada hanyalah aroma kesedihan dan kesepian. Kupu-kupu itu pun hinggap di atas bunga-bunga yang masih bermekaran.
Aku terdiam tepat di tempat kami menari bersama. Masih kulihat bunga melati putih yang menjadi wadah air mata perpisahan itu. Kesedihan yang sangat mendalam kini merasuki perasaanku. Kesedihan karena ditinggal olehnya, oleh malaikat yang selalu menjagaku, yang selalu mengerti apa yang aku inginkan dan butuhkan. Sungguh tak ada yang lain yang dapat menggantikannya.
Air mataku sudah mengering dan tak bisa ditumpahkan lagi. Aku hanya tertunduk lemas dan pasrah. Mencoba menuangkankan kesedihan pada bunga-bunga, yang mungkin akan tersampaikan kepadanya di surga. Ku ambil beberapa bunga yang ada di taman ini untuk ku bawa pulang. Ku ambil setiap jenis bunga di taman. Ku ambil juga bunga melati putih yang dulu menjadi saksi kita. Bunga-bunga itu dulu sempat bertabur di atasku dan malaikatku saat kami menari bersama. Kini aku memungutnya dan akan ku taburkan di atas pusaranya. Pusara seorang yang selalu ada di khayalanku, dan membuatku bahagia bila bersamanya. Dia adalah malaikatku.
Bahagialah kau di sana, malaikatku. Ajak aku menari bersamamu di surga.
.....

J J J



>>> Ditulis untuk tema #5 proyek nulisbuku “Menari oleh Maliq And d’essentials” serta untuk menepati janji kepada salah seorang teman.

2 comments:

Anonim mengatakan...

Yang paling nyata dari perpisahan itu memang berputarnya kepala mengingat kenangan tanpa dapat kita kendalikan.
Suasana yang tercipta keren banget lin.
Aku membacanya seperti sedang menerima surat cinta..^^

Ahmad Ulin Niam mengatakan...

Perpisahan memang pahit vin.
Kata-katanya kayaknya masih banyak yang kacau ya,Vin.
Oya makasih sudah membaca ^^

Posting Komentar