Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Labels

Sabtu, 05 November 2011

Malam Takbiran di Perantauan

Langit barat sudah berwarna ungu. Cahaya matahari pun sudah berganti warna menjadi jingga. Mushola dan masjid sudah mengumandangkan sholawat sebelum adzan maghrib diserukan. Aku berjalan sepanjang Jalan Ikan Terbang menuju sebuah warung makan untuk mencari beberapa makanan untuk berbuka puasa. Berjalan sendiri, tak seperti saat bulan Ramadhan yang biasanya kami anak kosan Dahlia mencari takjil bersama. Tapi biarlah, aku sudah biasa sendirian. Dari arah berlawanan ku lihat juga beberapa orang - yang dari wajahnya kemungkinan besar adalah mahasiswa STAN - sudah menenteng plastik berisi nasi bungkus dan beberapa minuman. Rupanya banyak juga yang sedang mencari hidangan takjil pada hari Arafah ini.

Satu plastik berisi jus alpukat dan nasi bungkus sudah ada di tangan. Kini aku berjalan kembali ke kosan untuk menikmati hidangan berbuka seadanya. Ku lihat di pelataran masjid terbesar di komplek ini (karena memang hanya ada satu masjid ini saja) sudah dipersiapkan mimbar untuk sholat Idul Adha esok hari. Di tiang-tiangnya pun sudah terikat beberapa kambing yang siap untuk dikorbankan di hari raya besar besok. Dalam hati gembira menyambut hari raya Qurban. Namun perasaan sedih juga muncul karena esok hari aku lagi-lagi harus sholat ied di pelataran masjid ini seperti dua Idul Adha yang lalu, bukan di masjid kampung halaman bersama keluarga.


Kini adzan maghrib sudah dikumandangkan dari masjid komplek ini. Sambil membaca doa berbuka puasa, ku buka plastik berisi jus alpukat yang baru ku beli. Sisi bawah sedotan kucelupkan ke dasar plastik berisi jus berwarna hijau itu, sedangkan sisi atasnya menempel di bibirku. Mulai ku berikan gaya tarik pada sedotan agar fluida kental itu mau naik memenuhi rongga mulutku, mengalir membasahi kerongkongan yang kering kerontang, dan sekedar terciprat ke dinding lambung yang dari tadi meraung-raung minta diisi. Sungguh nikmat setelah seharian rongga-rongga pencernaan ini kosong kemudian dialiri oleh sesuatu yang menyegarkan. Mungkin inilah janji Allah tentang nikmat yang diberikan kepada orang yang berpuasa, yaitu ketika dia berbuka.

Adzan telah selesai dan jus alpukatku baru tersedot seperempatnya. Rasanya sudah hilang rasa dahaga seharian tadi. Aku kembali ke kos, sholat, dan kemudian melanjutkan makan besar, alias makan nasi bungkus. Sembari makan aku berusaha mempertajam pendengaranku untuk menemukan suara gema-gema takbir malam lebaran yang saling bersahutan. Tapi yang ku dengar hanya seperti seruan kecil yang entah itu berasal dari jarak berapa kilometer. Tak ku dengar dari masjid terbesar komplek ini. Sungguh berbeda dengan di kampung halaman yang biasanya ba'da maghrib sudah ramai takbir yang bersahutan. Aku juga ingat setiap malam takbiran pasti banyak anak yang keluar sekedar memukul kentongan dan meneriakkan takbir dan tahmid. Suasana yang sangat berbeda, dan membuatku sangat merindukan kampung halaman, merindukan ayah, ibu, dan kedua adik di rumah sana. Setelah dua malam Idul Adha tidak bersama mereka.

Adzan isya' kini sudah berkumandang. Kali ini ada yang berbeda pada menit-menit setelah adzan selesai digemakan. Kudengar suara letusan kecil dan diiringi letupan cahaya warna-warni di langit. Rupanya ada yang menyalakan kembang api. Semakin meriah dan agak melegakan pikiran setelah terdengar dari kedua telingaku seruan takbir dan tahmid yang mulai bersahutan. Kini tak hanya dari masjid yang entah ada di mana, tapi kini masjid komplek dan juga masjid-masjid yang lain juga sudah mulai menggemakannya.


اَللّهُ اَكْبَرُ،  اَللّهُ اَكْبَرُ،  اَللّهُ اَكْبَرُ،  لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللّهُ اَللّهُ اَكْبَرُ،  اَللّهُ اَكْبَرُ،  وَلِلّهِ الْحَمْدِ


Aku keluar dari kamar, berlari menuju ke balkon di sebelah kamarku. Aku ingin mendengarkan dengan lebih jelas kalimat-kalimat pujian untuk-Nya. Sekedar ikut melafalkan, dan sekedar untuk menenteramkan hati yang sedang dilanda rindu. Dari arah barat dan paling jelas adalah takbir dari masjid komplek. Dari arah timur laut suara remaja yang fasih melafalkan takbir dan tahmid. Dari barat terdengar suara anak-anak yang meneriakkannya. Suaranya terdengar lucu tapi fasih mendendangkannya. Dan ternyata masih ada banyak sumber suara yang semuanya menggemakan kalimat yang sama. Kalimat pujian dan pernyataan kebesaran-Nya.

Kini rasa rindu telah sedikit terobati oleh seruan-seruan takbir. Aku masih duduk di balkon sambil melihat ke arah langit. Tak ada bintang yang biasanya bertaburan di langit kampung halaman. Yang terlihat hanya sang planet raksasa, Jupiter. Dia terlihat hanya seperti satu titik cahaya dengan tinggi kira-kira 45 derajat dari horizon. Sendiri, tanpa ditemani bintang-bintang, dan bahkan bulan pun tak terlihat karena tetutup awan gelap. Ku pandangi dia, kucoba untuk menitipkan salam rindu kepada keluarga di rumah. Berharap mereka melihatnya dan menerima salam rindu dari tanah perantauan ini. Masih ditemani oleh gema takbir.


malam takbiran Idul Adha 1432 H

1 comments:

Anonim mengatakan...

'Takbiran' selalu punya cerita yang menarik antara insan dengan keluarganya...^^

Posting Komentar