Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Labels

Senin, 02 Juni 2014

Bersepeda Menuju Khayangan Api, Api abadi


Agak kesulitan memang mencari lokasi wisata di kota Bojonegoro. Setelah browsing mencari-cari tempat wisata apa saja yang ada di kota ini, akhirnya saya menemukan salah satu tempat wisata yaitu api abadi Khayangan Api yang terletak di desa Sendangharjo, Kecamatan Ngasem. Memang agak jauh dari pusat kota Bojonegoro, tapi melihat foto-foto yang ditampilkan membuat penasaran juga. Satu hari sebelum rencana keberangkatan saya sempat ragu karena masalah jarak yang jauh yakni sekitar 20 km dan harus saya tempuh dengan sepeda. Cukup melelahkan kelihatannya.

Jika melihat peta, jalan yang dilewati memang terlihat mudah. Dari pusat kota kita tinggal menyusuri Jalan Raya Dander, lurus saja ke arah selatan sampai ketemu pertigaan pasar Dander. Nah dari Pasar Dander belok ke kanan (ke arah barat) sampai ke Kayangan Api. Sampai deh di tempat tujuan. Namun kenyataannya tak semudah itu untuk sampai ke Khayangan Api.


Selasa, 27 Mei 2014, memanfaatkan hari libur, akhirnya saya putuskan untuk cek medan saja apakah layak untuk dilewati sepeda atau tidak. Jam 06.00 saya keluar dari kos, mulai menggowes sepeda melewati Jalan Basuki Rahmad, kemudian melewati Jalan Diponegoro, dan menyeberangi rel kereta api untuk masuk ke Jalan Munginsidi. Ternyata jalannya lumayan enak untuk dilewati sepeda. Kayuhan demi kayuhan, sambil melihat hamparan sawah di kanan kiri jalan, membuat lupa sudah seberapa jauh bersepeda. Saking asyiknya, tak terasa sudah sangat jauh dari start. Sampai akhirnya setelah memasuki Jalan Raya Dander malah ingin melanjutkan perjalanan sampai Khayangan Api. Yah daripada balik lagi mending lanjut aja deh sampai Khayangan Api, pikirku. Lanjut gowes..

Jalan Raya Dander memang tidak terlalu lebar namun sudah sudah beraspal lumayan bagus. Jalurnya pun lurus terus tak ada belokan atau persimpangan, datar, dan tidak terlalu banyak kendaraan yang melintas, jadi lebih mirip jalan tol kecamatan. Saya harus menempuh Jalan Raya Dander sepanjang kurang lebih 14 km sampai menemui Pasar Dander. Cukup jauh juga. Maka dari itu saya sempatkan istirahat sejenak setiap beberapa kilometer untuk sejenak minum dan melemaskan badan. Pada istirahat ke sekian kalinya, pada jarak kira-kira 12 km, saya melihat bangunan dengan kubah berwarna kuning emas berdiri dengan gagahnya. Mungkinkah ini masjid kubah emas yang terkenal di Dander itu? Saya coba mendekat, ternyata memang benar. Masjid "Kubah Emas" Al-Birru Pertiwi. Sedikit jepret-jepret dan istirahat sejenak di pelataran masjid ini. Eh tapi kok kayaknya kubahnya bukan dari emas ya? Hanya warnanya saja yang kuning keemasan. Karena wanrna kubahnya yang keemasan itu lah masyarakat lebih sering menyebutnya masjid kubah emas.



 Melanjutkan perjalanan, sambil melihat peta, ternyata Pasar Dander sudah tidak jauh lagi. Tinggal gowes beberapa kilometer lagi. Inilah penampakan Pasar Dander.


Di sana terdapat gapura bertuliskan "Wisata Khayangan Api" dan ada juga papan penunjuk bertuliskan "5 km lagi". Wah ternyata perjalanan masih jauh, padahal keringat sudah membasahi tubuh. Ditambah lagi jalan yang akan dilewati tidak senyaman jalan 'tol' Dander yang datar beraspal halus. Jalan yang harus dilewati kali ini banyak lubang aspal dan agak naik turun. Memang cukup menantang untuk dilalui dengan sepeda. Siap lanjut, pantang mundur. Di tengah perjalanan menghindari lubang aspal, saya tertarik dengan hamparan hijau di kanan kiri jalur ini. Beberapa kilometer awal hamparan hijau itu adalah sawah milik petani yang masih hijau segar. Kemudian berganti dengan rerumputan luas dan 'calon' hutan jati, yang ditumbuhi pohon-pohon jati yang memang masih muda. Dan hamparan selanjutnya adalah hutan jati yang sebenarnya. Hutan jati yang lumayan lebat dan rimbun sehingga membuat jalanan menjadi agak gelap karena sinar matahari sedikit terhalangi. Nah hutan jati ini lah tanda kalau sudah hampir sampai ke Khayangan Api.

Sawah penduduk yang masih hijau


Calon hutan jati


Melintasi hutan jati

Semakin jauh menggowes, semakin dekat dengan Khayangan Api, semakin rimbun hutan jati ini, dan semakin sedikit kendaraan yang melintas. Jalanan menjadi gelap karena rimbunan hutan jati menjadikan suasana sedikit horor. Sepi senyap. Sampai di pertigaan ada gapura bertuliskan "Taman Wisata Khayangan Api". Benar-benar tak ada satu orang pun di tempat itu kecuali saya. Perasaan yang ada adalah takut dan ngeri. Apa benar tempat wisata sehoror ini dan sesepi ini? Akhirnya dengan sedikit ragu saya mencoba memasuki gapura tersebut, dan alhamdulillah jalanan agak lebih terang, artinya sudah keluar dari hutan jati. Dan untungnya ada penduduk setempat yang bisa ditanyai. Ternyata Khayangan Api sudah tidak jauh lagi. Semakin semangat untuk menuju ke sana. Sekarang jalurnya sudah dipaving. Hm gowes lanjut...


Akhirnya gapura Khayangan Api yang sebenarnya sudah terlihat. Pukul 08.10 saya sampai di lokasi, dengan badan sudah bersimbah keringat. Wah pasti bau. Hahaha. Untuk tiket masuk dan penitipan kendaraan ditarik sebesar lima ribu rupiah. Mahal juga ya. Memasuki gapura, suasana sangat sepi. Bukan karena suasana mistis, tapi karena memang belum ada pengunjung. Saya mungkin pengunjung pertama untuk hari ini.

Gerbang Khayangan Api


Menurut legenda, Khayangan Api adalah tempat atau jalan menuju khayangan dengan bantuan api. Tempat ini merupakan petilasan dari Ki Kriya Kusuma atau lebih dikenal dengan Empu Supagati yang hidup pada masa Kerajaan Majapahit. Tempat ini digunakan oleh Empu Supagati untuk membuat keris-keris andalannya. Pada zaman modern, api abadi di kawasan ini digunakan untuk menyalakan api obor PON pada saat PON ke-15 di Jawa Timur. Ini dia penampakan api abadi yang katanya merupakan sumber api alami terbesar se-Asia.

Api abadi, apinya agak samar-samar sih

Lebih dekat

Berani juga adek ini, padahal dari luar pagas saja terasa panas


Ini hasil jepret-jepret saat berada di kawasan Khayangan Api.



Candi-(candian)

Ada penjaga candinya juga lho..


Penduduk setempat memanfaatkan adanya tempat wisata ini dengan menjual jagung bakar yang dibakar langsung di atas api abadi. Saya tertarik untuk mencoba, lumayan untuk mengisi perut yang belum makan. Hmm jagung bakar Khayangan Api.

Bakar jagung

Hmm jagung bakar yummy..

Selain api abadi, tak jauh dari sumber api, ada juga kolam air yang namanya Air Blekutuk, yaitu seperti mata air tetapi terlihat 'blekuthukan' dan sedikit berasap seperti air mendidih. Mungkin di bawah sumber air itu ada sumber gas belerang, karena baunya yang menyengat. Air Blekuthuk itu dipercaya digunakan oleh Empu Supagati untuk mencelupkan keris yang telah dibakar dan ditempa di api abaidi tadi. Wah berarti membuat kerisnya harus lari-lari ya, karena api abadi dan kolam blekutuk itu jaraknya tak bisa dijangkau dengan beberapa langkah saja.



Di dekat Air Blekutuk ada pohon yang bentuknya aneh. Ada dua pohon yang batangnya menempel dan tersambung satu sama lain menjadi bentuk seperti gapura. Konon dua pohon yang bersatu membentuk gapura ini digunakan oleh Empu Supagati sebagai pintu masuk menuju kompleks Khayangan Api.


Itulah beberapa objek yang ada di kawasan Khayangan Api. Cukup menarik untuk dijadikan alternatif wisata di Kabupaten Bojonegoro. Sedikit saran agar lebih merawat objek-objek yang ada di sana agar tetap lestari dan lebih menarik pengunjung. Serta agar lebih banyak sosialisasi tentang objek wisata ini sehingga wisatawan lebih banyak yang datang berkunjung. Nah setelah puas menikmati objek-objek alam dan peninggalan masa Majapahit, akhirnya saya meninggalkan Khayangan dan kembali ke bumi, eh kembali ke kos. Dan sialnya saya harus mengggowes sepeda ini 20 kilometer lagi. Duh benar-benar melelahkan.

*Ready to bike to the next trip

3 comments:

Abdullah M. mengatakan...

good job brother...
btw, kau pakai sepeda apa Lin?

Ulin Niam mengatakan...

Masih suka gowes juga bro??

Aku pake sepeda murahan Dul, yang penting bisa jalan. Hehe

Wahyu Whi mengatakan...

Keren Lin...wes gowess..

Posting Komentar